Minggu, 11 Maret 2012

SEPAK BOLA INDONESIA



SEPAK bola nasional masih tertatih-tatih di lorong gelap. Pergantian kepengurusan semula membangkitkan banyak harapan. Namun, kepengurusan baru ternyata kembali tenggelam dalam gelombang kekisruhan dan perpecahan memuakkan.

Rezim baru Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di bawah pimpinan Djohar Arifin Husin tak ubahnya rezim lama yang dikomandoi Nurdin Halid.

Kedua kepengurusan sama-sama tidak membawa perubahan bagi kebangkitan sepak bola nasional. Tenaga, pikiran, dan dana yang terkuras untuk melengserkan rezim Nurdin lewat kongres luar biasa di Solo, Juli silam, percuma saja. Pengurus baru PSSI masih terperangkap di lorong pengap.

Mereka melakoni jurus hantam kromo. Mereka yang tidak mengikuti kebijakan PSSI harus menanggung akibatnya. Sanksi pun berjatuhan, entah kepada klub atau pengurus PSSI pusat maupun daerah. Bahkan, tidak sedikit yang terkena pemecatan.

Bukan cuma itu. PSSI doyan mengeluarkan kebijakan sekalipun itu menabrak aturan. Misalnya, penambahan jumlah peserta kompetisi Liga Super Indonesia dari 18 menjadi 24 klub.

Langkah dan kebijakan PSSI itu tidak urung melahirkan perlawanan. Hanya dalam tempo lima bulan sejak kepengurusan Djohar Arifin terbentuk, muncul Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) Desember lalu.

Konflik kedua lembaga itu bakal kian memanas pada 18 Maret mendatang karena sama-sama menggelar kongres. PSSI pimpinan Djohar Arifin menyelenggarakan kongres tahunan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sedangkan KPSI akan melaksanakan kongres luar biasa di Jakarta, untuk mendongkel kepengurusan Djohar Arifin.

Celakanya, kemelut di tubuh PSSI itu terjadi di tengah buruknya prestasi tim nasional. Peringkat Indonesia di FIFA, misalnya, melorot tajam dari posisi 120
pada 2009 menjadi 146 pada Februari 2012.

Belum lagi kiprah mengenaskan timnas di kualifikasi Piala Dunia yang dibantai Bahrain 0-10, Rabu (29/2). Itulah kekalahan paling buruk, paling memalukan sepanjang masa.

Kekalahan di Bahrain menjadi bukti nyata sepak bola nasional berada di titik nadir. Oleh karena itu, tidak sepatutnya mereka yang mengaku peduli dengan sepak bola di Tanah Air justru kian gigih bertikai.

Gaya hantam kromo yang diterapkan pengurus PSSI terhadap penentangnya jelas sebuah kekonyolan. Begitu pula, jurus kudeta KPSI demi kekuasaan dan kepentingan bukanlah sikap beradab.

Bila konflik selalu menggelayuti kepengurusan sepak bola kita, pantas saja prestasi timnas terus berkubang dalam keterpurukan. Harapan publik akan kebangkitan dunia sepak bola justru tersesat di lorong gelap.

Akan tetapi, lorong gelap bukanlah lorong buntu. Sepak bola nasional memerlukan cahaya untuk mengantarkan ke jalan kebangkitan. Cahaya itu ialah sikap beradab dari para pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar